UNDANGAN PENTAS UNTUK AYAH DAN IBU
- Rabu, 16 Februari 2022
- SUMYATI
- 0 komentar

UNDANGAN PENTAS UNTUK AYAH DAN IBU
OLEH SUMYATI
Bu Marni gelisah menanti anak bungsunya. Hatinya dirasuki cemas dan bimbang. Anak bungsunya selalu telat pulang. Tiba-tiba terperanjat, mendengar deru motor di garasi. Ketika membuka pintu, wajah lusuh berseragam SMA, muncul didepannya.
"Pulang malem lagi De? Itu kenapa roknya?" Bu Marni kaget melihat rok anaknya penuh bercak warna merah, hijau, putih dan biru.
“Assalamualaikum, Bu,” anak itu mengulurkan tangan kepada ibunya, lalu mencium tangan ibunya.
"Bu, ada undangan buat ayah dan ibu. Tidak mau tahu, pokonya wajib datang, titik tanpa koma," ibunya tersenyum mendengar kata-kata anaknya yang tiba-tiba.
"Ganti baju sanah, acem!" Sambil membuka undangan ibunya duduk di sofa. “Jangan lupa mandi. Aroma kaos kakinya aduuuh...," seru Bu Marni sambil mijit hidungnya.
"Oke ade mau ganti baju, tapi besok ibu datang yah!" anak itu memaksa. Lalu ia pergi ke kamarnya. Tak lama kemudian ia keluar kembali mengenakan baju tidur.
“Cepet amat, engga mandi yaaaah?” sentil ibunya.
“Kucing juga tak mandi larinya kenceng. Dingin bu, entar ade sakit,” jawab anak itu simpel.
“Ibu sama ayah bakal datang ‘kan?” anak itu mengalihkan pembicaraan.
“Sabtu ibu kuliah, De!” jawab ibunya, sementara perhatiannya masih pada laptop. Sedangkan anak itu duduk di samping ibunya.
“Ini moment penting bagi ade. Kapan ibu sama ayah bisa melihat perjuangan ade? Satu kali ini saja ibu. Sejak TK ade selalu sabar. Ibu ingat? Ketika wisuda TK, ade hanya diantar oleh pembantu, didandani pembantu. Ketika di SD acara renang, teman-teman ade diantar ibunya. Sedangkan ade sejak kelas satu selalu ibu titipkan pada orang lain. Paling sedih waktu SD, ibu tidak pernah ada waktu untuk mengambil rapor ade bareng teman-teman. Karena ibu juga sibuk membagikan rapor di sekolah ibu. Sampai sekarang ade di SMA, ibu dan ayah selalu tak ada waktu menemani acara ade di sekolah. Kapan ade bisa menikmati kebahagiaan ade bersama ayah dan ibu?” anak itu merajuk.
“Bu, ini perjuangan ade mati-matian. Bukankah setiap hari ibu bertanya, kenapa ade pulang malam? Mengapa uang ade habis melulu? Inilah saatnya ibu dan ayah tahu. Ade tidak akan menjawab pertanyan itu dengan kata-kata yang tidak bisa membuat ibu percaya. Tapi ade, ingin ibu menyaksikan perjuangan ade seperti apa.” Mendengar perkataan itu, si ibu tersenyum saja, dibiarkannya anaknya puas mengkritisinya.
“Ade tak pernah minta uang untuk jalan-jalan ke mol. Ade tak pernah minta dibelikan itu ini. Yang ade minta hanyalah ini, pliss deh, Bu!”
“Hari Sabtu, ibu kuliah. Ayah juga masih di luar kota,” jawab ibunya. Sementara tangan ibunya masih menari-nari di atas keyboard laptop, sedangkan matanya terpokus pada monitor. Bu Marni tak pernah sepi aktivitas. Sejak bangun tidur, hingga ia tidur kembali. Mulai tugas rumah tangga, tugas kuliah, hingga tugas negara.
“Jawaban ibu selalu itu. Dari dulu selalu sibuk dan sibuk. Untuk apa ibu punya anak, kalau tidak diperhatikan! Kenapa ade dulu tidak ibu buang saja ke laut. Dari pada ade dipelihara, tapi tidak disayangi. Ibu sayang anak hanya di bibir saja, hu..hu...hu...,” tangisnya makin keras sambil melemparkan bantal kursi ke lantai.
Ibu menghentikan pekerjaannya. Kemudian berbalik melihat anaknya yang tersengguk-sengguk menangis. Ada iba di hatinya. Naluri keibuannya tersentuh. Kemudian ia duduk menghampiri anaknya. Dipeluknya anak itu dengan lembut.
“Putri Ayuningtias, ibu mana yang tidak sayang sama anak? Ade juga tahu, kan? Sumber penghidupan kita itu dari situ. Kalau ibu tidak disiplin kerja nanti ibu kena sanksi. Kalau petani kerjanya di kebun atau sawah. Tetapi ibu kerjanya di sekolah. Sedangkan pekerjaan guru itu banyak sekali.”
Putri masih terisak-isak. Ia masih belum memperlihatkan mukanya. Marahnya belum sirna. Namun ibunya terus berusaha membujuknya.
“Cantik, lihat ibu, sayang! Putri sayang ibu, kan? Mana mungkin ibu dan ayah tidak sayang anak. Putri dan kakak anak kebanggaan ibu. Putri bungsu ibu ini paling sabar sedunia. Ibu bangga punya ade dan kakak yang hebat.” Tiba-tiba, Putri menengadah kepada ibunya.
“Bu, ade tidak minta uang. Ade tidak minta dibelikan barang mewah. Hanya itu yang ade minta, kalau ibu tidak mau, berarti ibu tidak sayang,” kemudian anak itu tengkurap.
Ibu hanya memandangi punggung anak itu. “Benarkah aku ini ibu egois? Tidak sayang anak. Mungkin benar, aku tidak pernah ngantar-ngantar anak. Momen istimewa anakku hampir tak pernah aku ikuti. Tapi, apa dayaku?” gumam bu Marni dalam hatinya.
Malam makin larut. Kantukpun mulai menyerang. Ibu menutup laptopnya. Sementara Putri tertidur di sofa. Berulang kali ibunya membangunkan, ia tidak mau bangun. Terpaksa, ibunya menyelimuti dengan selimut tebal.
Pagi-pagi buta, Putri telah siap pergi. Hanya mengenakan celana jens hitam, kemeja kotak-kotak dan kerudung hitam. Dipunggungnya ransel besar.
“Bu, jangan lupa sama ayah, ade tunggu di Gedung Kesenian pukul 14.00. Ade pergi yah,” putri mencium tangan ibunya.
“Itu bawa apa, De? Banyak amat,” ibu menunjuk ransel yang digendong.
“Ini properti untuk ade tampil, Bu. Ade pergi, doakan semoga ade juara.” “
“Yah sayang, doa ibu selalu menyertaimu,” jawab Bu Marni.
Bu Marni menatap Putri pergi. Dari mulai menghidupkan motor hingga motor itu meninggalkan garasi, ibu mengantarkan dengan tatapan iba dan doa. Betapa tak tega, jika harus menolak harapan anak itu. Betapa berdosanya, sebagai ibu yang telah tega menelantarkan anaknya. Untung saja, Putri anaknya penuh semangat. Dia pantang menyerah. Sejak kecil, anak itu selalu sibuk dengan kegiatan sekolah. Hingga kini SMA, semangatnya tak pernah surut.
“Sebaiknya aku telepon ayahnya dulu,”pikir Bu Marni. Lalu memilih kontak suaminya.
“Halo..., Pah hari ini pulang yah, pukul 14.00 ada undangan dari SMA si Ade, katanya penting.”
“Acara apa?”
“Pentas Kabaret si Ade. Mungkin ada yang spesial untuk orang tua. Tidak biasanya ia merengek-rengek harus datang. Bayangin deh Pah, ia tidak mau makan. Semalem menangis terus, sebelum aku sanggupin datang bersama papah. Tak biasanya ‘kan pah?” si ibu meyakinkan suaminya.
“Lihat situasi nanti saja, Mah. Sebenarnya hari ini ada agenda rapat pukul 08.00 di kampus. Baik-baik saja mamah ngerayu anak itu.“
“Baik, Pah,” ibu menutup teleponnya.
Pukul 13.00, klakson mobil beberapa kali berbunyi depan rumah. Ibu terperanjat, ternyata benar mobil Grand Vitara hitam metalik telah menunggu depan gerbang. Ibu bergegas membukakan gerbang. Hatinya lega, alhamdulillah, keinginan Putri dapat terkabul. Kemudian Bu Marni terkejut.
“Mas, Bapak kemana?” tanya Bu Marni heran.
“Bapak sakit, Bu. Sedang berobat dulu ke dokter. Saya disuruh Bapak mengantar ibu ke Gedung Kesenian. Nanti saya balik lagi jemput bapak, kebetulan tadi mengantri di dokternya,” jawab si Mas sambil mematikan mobilnya.
“Bapak sakit apa? Tadi bapak tak bilang apa-apa.”
“Kurang tahu, Bu. Katanya pusing dan muntah-muntah.”
“Ya udah. Kita berangkat sekarang.”
Mobil melaju kencang. Kebetulan jalanan tidak macet, dalam waktu tigapuluh menit, mobil telah sampai di Gedung Kesenian. Di dalam ruangan penonton dibagi tiga kelompok yakni kelompok keluarga pemain, kelompok siswa dan guru. Sedangkan paling depan diisi oleh dewan juri dan para pejabat jajaran Dinas Pendidikan.
Beberapa saat lagi penampilan SMA 25. Narator telah berdiri di atas panggung, menyampaikan sinopsis cerita yang akan dipentaskan. Sebuah kisah keluarga yang kurang harmonis, karena ayah dan ibunya sama-sama egois mementingkan pekerjaannya daripada anak-anaknya. Tepuk tangan bergemuruh menyambut acara dibuka. Penonton makin penasaran. Terlebih ayah dan ibunya, telah gelisah ingin segera melihat anaknya tampil. Tak lama kemudian layar pun terbuka penuh.
Ribuan mata penonton tertuju pada aksi anak-anak kabaret. Luar biasa, akting mereka sangat memukau. Tata panggung dan properti yang digunakan, seperti nyata. Rupanya ini yang ingin Putri perlihatkan kepada ayah dan ibunya. Melalui penampilan ini bermaksud menyindir para orang tuanya yang kurang perhatian kepada anaknya.
Selesai pentas Putri bergegas mencari orang tuanya. Ia terkejut, karena hanya kakak dan ibunya yang ia temui.
“Bu, ayah mana? Ayah tidak datang yah?” Bu Marni hanya terdiam.
“Bu, benar ‘kan ayah tidak sayang ade. Lihat orang lain, mereka berbahagia. Mereka kompak, Bu. Tidak seperti kita,” kata Purti. Air matanya terlihat mengalir di pipinya.
“Ayah sakit.”
“Alasan, itu mah. Kalau apa-apa bilangnya sakit. Tapi kalau urusan kampus, ngurus anak orang lain sakit juga selalu pergi. Giliran anak sendiri, selalu saja tidak bisa.” Anak itu ngeyel, mulutnya cemberut.
Bu Marni bingung, entah apa yang harus ia katakan untuk meyakinkan anaknya. Tidak mungkin di tempat itu harus berdebat.
“De, kapan pulang atau mau nunggu pengumuman?” tanya ibunya.
“Oh ..., Ade mau lihat pengumuman dulu pukul 19.00. Kalau ibu mau pulang duluan silahkan. Ade naik motor,” jawab Putri setengah menyesal, lalu ia mengantar ibunya sampai pintu keluar.
Bu Marni naik bis kota, karena mobil tadi sudah pulang menjemput Pak Anwar. Hatinya mulai resah, apakah suaminya baik-baik saja? Beberapa kali ia mencoba menelepon, ternyata hanya jawaban operator, “Nomer yang anda tuju diluar jangkauan.”
Rute bis kota muter ke Cicaheum. Tidak heran jika perjalanan ini menghabiskan waktu hingga satu setengah jam. Beda satu jam dengan tadi. Tiba di rumah, pintu masih terkunci. Penasaran, ia telepon lagi suaminya. Ternyata masih seperti tadi, diluar jangkauan. Lalu menelpon si Emas.
“Halo Bu...”
“Mas, dimana?”
“IGD, Bu. Rumah sakit yang di jalan Seokarno Hata.”
“Ko ke IGD, Mas ?”
“Iyah, Bu. Kata dokter bapak harus di rawat.”
“Innalillahi, separah itu? Tunggu ibu ke situ,” kata si ibu gugup. Ia segera menyetop tukang ojeg yang lewat, satu motor berdua dengan Luna.
Motor itu melaju cepat selap selip menerobos kemacetan jalan Soekarno Hata. Alhamdulillah hanya sepuluh menit sampai di IGD Rumah Sakit. Begitu masuk, terlihat suaminya berbaring. Dokter sedang memasang infusan dibantu dua orang suster.
“Ibu siapanya?” tanya dokter.
“Saya istrinya, dok.”
“Bagus, ibu segera daftar rawat inaf. Bapak harus di rawat. Darah Bapak tinggi sekali, rupanya Bapak terlalu kecapean dan banyak pikiran. Nanti setelah diruangan dokter bisa melakukan diagnosa dan memberikan tindakan.”
“Bagaimana acaranya, Mah?” Pak Anwar menyapa istrinya.
“Tinggal menunggu pengumuman, Pah,” jawab Bu marni.
Sepeninggal ibunya pergi, di belakang panggung Putri dan kawan-kawannya mengemasi properti. Dua bulan mereka membuat properti tersebut. Kini berakhirlah sudah. Ditatapnya tumpukan triplek yang telah ia dekor berhari-hari dengan cat warna-warni. Perasaannya mulai berdebar-debar tidak karuan. Ketegangan mulai merasuki pikiran dan perasaan mereka. Gerah dan gelisah.
Setelah peserta terakhir selesai, Putri dan kawan-kawannya duduk di kursi paling depan. Akankah piala gubernur itu diraihnya? Hatinya pesimis, hanya keajaiban Tuhan yang ia harapkan. Dewan juri membacakan pemenang. Gemuruh tepuk tangan makin mendebarkan perasaan. Saat-saat yang paling ditunggu-tunggu peserta akhirnya tiba. Juara I Festival Kabaret Piala Gubernur Jawa Barat 2017 dimenangkan oleh SMA 25 Bandung.
Jeritan peserta SMA 25 seketika pecah. Semua peserta berlarian ke panggung, mereka saling berpelukan. Sujud syukur peserta sungguh mengharukan. Mereka sangat berbahagia karena semua usahanya tidak sia-sia.
Putri sebagai pemeran utama, tampil kedepan untuk menerima piala sekaligus medali. Ingin sekali rasanya ia berteriak, meneriakan kemenangannya. Andai ayah dan ibunya ada saat itu lengkap sudah kebahagiannya. Namun sayang ibunya telah pulang lebih dulu. Betapa sakit hatinya, ia sangat berharap kedua orang tuanya mendampinginya ketika menerima piala.
Diam-diam Putri pulang dengan menggendong tas ranselnya, sedangkan medali masih dikalungkan di lehernya. Ia menghidupkan motornya, lalu meluncur pulang.
Tiba di rumah, semua pintu tertutup rapat. Beberapa kali menekan bel tak jua ada yang membuka. Sedangkan mobil ayahnya juga tak ada di garasi. Ia curiga, mungkin kakak dan orang tuanya pergi ke mol berjalan-jalan. Marah, kecewa dan benci luar biasa. Ingin rasanya melemparkan semua yang ia bawa.
“Ibuuuuuu,” Putri berteriak keras sambil menendang-nendang gerbang.
Kriiing...kriiing...kriiiiing... kriiiiiing...
“Apa sih ? Jangan harap aku tak mau ngangkat,” guam hatinya.
Kriiiing...kriiiing...kriiiiiiiiing...
“Apa ? Ibu pembohong!” jawab Putri marah.
“De, ibu di Rumah Sakit. Pulangnya ke rumah sakit saja. Ayah dirawat di sini.” Mendengar berita itu seketika hati Putri luluh. Ia tak percaya kalau ayahnya sakit.
“Apa, Rumah Sakit?” jawab Putri kaget.
Ya Allah, ayah? Benarkah ayah sakit? Jadi dari tadi telah salah sangka. Aku ini anak apa? Aku ini anak durhaka kepada orang tua. Ya Tuhan, dari tadi, bahkan dari kemarin aku marah sama ayah.
Tak berpikir panjang, tancap gas pergi menuju rumah sakit. Ia tahu, RS yang harus ia tuju. Tidak berapa lama ia sampai di parkiran motor. Mas Marko, supir ayahnya telah berdiri menunggu.
“Mas, diruang mana ayah?” tanya putri tak sabar. Terlihat dimata anak itu sisa-sisa tangisan.
“Ayo, ikut saya,” jawab si Mas sambil jalan ke lorong sebelah kanan. Putri mengikuti saja di belakang tanpa berkata sepatah katapun. Dilantai tiga kelas 1 ia berhenti. Kemudian Mas Marko membukakan pintu.
Setengah berlari Putri menuju ayahnya yang tengah terbaring lemah.
“Ayah, maafkan Ade. Ade telah salah sangka kepada ayah. Ade Cuma ingin ayah bangga kepada Ade saat Ade meraih piala. Ternyata Ade sangat egois.”
“Ade, ayah mana yang tak sayang sama anaknya. Apalagi Ade putri ayah yang paling hebat. Ayah bangga sama Putri. Itu medali tadi, sayang? Juara keberapa anak ayah ini?” kata-kata itu makin merobek hati putri. Kemudian Putri memegang medali itu.
“Juara pertama, Yah” jawab Putri sambil tersedu-sedu.
“Ayah bangga. Kalau saja ayah tidak sakit, tadi ayah yang mendampingi Ade saat mendapat piala. Makanya ayah buru-buru pulang, padahal hari ini di kampus banyak sekali pekerjaan ayah,” tangan lembut ayahnya mengelus-elus kepala putri yang terbungkus kerudung putih.
“Ayah, maafkan Ade! Ade sayang ayah. Ade banyak salah sangka pada ayah,” hanya kata itu yang bisa Putri katakan.
Ayahnya tersenyum mendengar kepolosan Putri.
“Sayang..., kalau saja Ade tahu. Dulu waktu Ade masih kecil, ayah yang mengasuh Ade jika ibu pergi ke sekolah. Ibu dan ayah bergantian menjaga Ade. Tapi setelah ade besar, beban ayah semakin besar. Kini Ade sudah bisa mandiri, maka ayah tenang mencari rizki. Ade tahu, mengapa Ade jadi pemberani? Itu karena Ade telah dilatih ayah dan ibu sejak kecil hidup mandiri. Ayah tahu, Ade marah dan benci kepada ayah. Apa ayah pernah marah? Kemarahan Ade itu justru makin mendorong semangat ayah untuk segera mewujudkan impian ayah. Untuk menjadikan anak ayah yang salehah, berilmu tinggi dan mandiri.”
Putri bangun, ia menatap ayahnya yang tersenyum memandanginya. Anak dan bapak saling memandang penuh cinta. Rasa kecewa dan benci yang pernah ada, kini pupus seketika. Betapa bangga Putri memiliki sosok ayah yang sangat menyayangi dirinya. Demikian pula ayahnya sangat bangga memiliki anak seperti Putri yang cerdas dan mandiri. Kerja keras Putri dan kegigihannya dalam mewujudkan cita-cita, sama persis dengan karakter ayahnya.
“Ayah, Ade bangga sama ayah. Sebagai permintaan maaf, Ade janji akan merawat ayah hingga ayah sembuh.” Sejak saat itu putri mengurus ayahnya hingga sembuh. Keluarga mereka hidup berbahagia selamanya