TERJEBAK TULISAN SENDIRI
(Oleh: Sumyati )
Mobil xenia putih berhenti pas di depan gerbang utama rumah berlantai dua. Rumah berpagar batu alam yang terletak di jalan utama terlihat paling tinggi diantara rumah-rumah lainnya. Dari warna batu alamnya yang masih mengkilap, menunjukan ini rumah masih baru. Hanya lantai dua yang nampak terlihat dari luar.
Seorang perempuan mengenakan gamis berwarna ungu muda, satu warna dengan jilbabnya menghampiri gerbang yang sedikit terbuka. Dengan ragu-ragu ia mengintip suasana garasi rumah itu yang tampak sepi. Rupanya ia memastikan ada orang atau tidak di situ. Ternyata garasinya kosong, tidak ada mobil seperti yang dibayangkannya. Kesejukan rumah itu sangat terasa, dengan adanya gemerincik suara air terjun di kolam kecil sudut kiri rumah, yang rimbun dengan aneka rupa tanaman hias yang tertata.
“Dilihat dari ciri-cirinya, pagar batu alam tinggi full, masih baru, ada di jalan utama. Yakin ini rumah Dini,” pikir perempuan itu sambil melangkah ke dalam garasi. Lalu ia melihat-lihat kolam dan taman.
Sementara dari dalam rumah, terlihat dari CCTV ada mobil berhenti. Yakin dalam hatinya, bahwa itu adalah tamu yang sedang dinantikannya. Karenanya ia bergegas ke luar.
“Hai Ran!” mendengar ada yang memanggil namanya perempuan itu terperanjat mencari sumber suara.
Oh, dia namanya Rani. Usianya tidak jauh dari Ibu Dini, kelahiran tahun tujuh puluhan. Hanya kalau Ibu Dini tubuhnya tinggi semampai, sedangkan Ibu Rani tinggi gemuk. Sepertinya dia satu profesi.
“Diniii…, aku kangen sekali sama kamu! Kita dua tahun lebih tidak bertemu. Sejak kamu pindah, hampir tidak berkomunikasi lagi,” jawab perempuan itu.
Mereka berdua saling berpelukan lama sekali. Terlihat dari pelukannya yang erat, kedua mata mereka basah. Lalu mereka saling melepas pelukan. Pegangan tangannya bagaikan rantai, saling menguatkan. Tatapannya seakan tak ingin kehilangan satu sama lain. Sedangkan, kedua mulutnya tak berhenti tersenyum, walaupun tidak bisa bertata-kata. Mulutnya terkunci. Rupanya perempuan yang baru datang itu bernama Rani. Ia sahabat Ibu Dini waktu mereka masih bekerja di sekolah lama. Memang dulu Ibu Dini setiap hari pergi ke luar kota, pergi subuh dan pulang sore diantar jemput oleh supirnya, kadang-kadang oleh suaminya jika kebetulan ada di rumah.
“Sejak kemarin, kamu berjanji mau datang ke sini, aku sangat bahagia, Ran,” tutur Ibu Dini membuka pembicaraan.
“Aku kangen sekali sama kamu, Din,” Rani kembali menghentikan langkahnya. Memegang kedua pundak Ibu Dini sambil saling bertatapan. Lalu keduanya tersenyum.
“Masuk yu! Rumahku seperti stadion, Ran. Jauh dibanding rumahmu yang perabotannya lengkap,” kata ibu Dini mempersilakan tamunya masuk.
“Ah, kamu suka gitu,” perempuan itu mencubit Ibu Dini.
Setelah menyilakan tamunya duduk di kursi tamu, ibu Dini langsung ke belakang. Sepeninggal tuan rumah, ia tidak langsung duduk. Tetapi berkeliling melihat-lihat koleksi buku di lantai satu yang nyaris tanpa sekat. Dari ruang tamu hingga dapur hanya terhalang oleh tangga yang melingkar menuju lantai dua. Di antara dinding dua kamar tidur ada sebuah ruangan yang sengaja didesain untuk perpustakaan keluarga. Di tempat itu selain rak-rak buku yang tertata rapi, ada sebuah meja tulis dan laptop yang masih terbuka menyala. Mungkin tempat itu perpustakaan sekaligus ruang kerjanya ibu Dini.
“Din, kamu masih aktif nulis? Aku sudah lama sekali tidak membaca buku kamu,” tanya Bu Rani sambil melihat-lihat koleksi buku.
“Sedikit, tidak seperti dulu,” jawab Bu Dini sambil meletakkan dua cangkir teh di meja makan yang tidak jauh dari perpustakaan itu. Kebetulan di meja itu sudah tersedia beberapa toples makanan yang sudah disiapkan untuk tamunya.
“Din, aku lihat kamu sangat berbeda dari dulu. Sejak pertama aku melihatmu di luar tadi, banyak yang berubah dari tubuhmu. Rasanya bukan Dini yang aku kenal, deh. Kamu sakit, Din?” tanya Bu Rani sambil menarik kursi untuk duduk di depan tuan rumahnya.
“Beda yah, Rin?” Bu Dini balik bertanya sambil menatap mengharap jawaban.
Ibu Rani menganggukan kepalanya sambil tersenyum. Matanya seakan tidak berkedip menatap sahabatnya. Rasa kangen yang telah lama diidam-idamkannya, masih belum habis tercurahkan. Demikian pula Bu Dini, nampaknya bahagia sekali dikunjungi sahabat lamanya. Hampir 20 tahun ia berteman baik di tempat tugas lamanya. Semua administrasi guru selalu Bu Dini yang mengerjakan. Memang Bu Dini orangnya rajin, karena memang profesinya sama dengan keahliannya. Sedangkan Bu Rani, dia mengajar bahasa hanya karena hobi. Sedangkan keahlian secara akademik adalah sarjana ekonomi. Terkadang ada orang sentiment bilang, “guru kapaksa,” katanya. Karena awalnya, menurut cerita di sekolah itu dulu kekurangan guru bahasa. Jadi siapa saja yang sanggup dan senang bahasa dan sastra mengajar bahasa Indonesia.
Sebagai perantau, bu Dini selalu membutuhkan uluran tangan Bu Rani. Sering kali kehabisan ongkos untuk pulang. Jika membawa mobil di bulan tua, terkadang kehabisan uang untuk membeli bensin. Maklum perjalanan sehari rata-rata tiga jam pulang pergi, jika lima hari kerja 250 ribu rupiah saja untuk bensin waktu itu, selama satu bulan satu juta. Sedangkan gajih seorang PNS tentu saja terbatas. Belum setoran kredit ke bank, biaya sekolah anak, dan lain-lain. Tidak heran jika selalu kekurangan. Untung saja persahabatan mereka saling mengisi kalau ada kekurangan.
“Din, cerita sama aku. Ada apa denganmu? Wajahmu layu, tak secerah dulu. Rasanya kamu bukan Dini yang dulu lagi, deh! Optimisnya mana, cerianya mana? Aku tahu, dibalik tawamu sekarang ini menyimpan tanda tanya. Karena aku benar-benar tahu siapa kamu. Jangan bohong sama aku, Din!” desak Rani kepada Bu Dini.
Bu Dini menarik nafas panjang, lalu membuangnya. Matanya sedikit merunduk entah menatap apa. Sedangkan Bu Rani terlihat penasaran, ditatapnya gerak-gerik sahabatnya itu. Kedipan matanya, nafasnya selalu menjadi perhatiannya.
“Aku bingung, Ran. Entah harus mulai dari mana aku bercerita. Hidupku serasa ada dalam dunia fiksi. Aku seperti sedang menjadi aktor sinetron indosiar. Masa depanku layaknya benang kusut, susah menemukan pangkal ujungnya. Tau-tau aku sudah terkapar di dunia asing, yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan. Mungkinkah aku kualat, Rin?” Tanya Bu Dini.
“Emang kenapa, sahabatku yang cantik?” Bu Rani penasaran.
“Kamu masih ingat novelku dulu? Novel itu justru kini seperti berbalik padaku. Apakah begini dunia penulis? Cerita yang dikisahkannya cerminan masa depannya? Itulah salah satu sebab, kurang produktifnya aku menulis sekarang, aku menjadi putus asa rasanya. Aku kehilangan semangat hidup. Rasanya hidupku ini hanyalah menunggu kapan malaikat menjemputku,” tutur Bu Dini sedih.
“Novel Calon Penghuni Surga, Din?” tanya Bu Rani. Dia ikut baper juga.
Semua terdiam. Bu Rani sangat mengerti apa yang dirasakan sahabatnya. Novel itu dulu menjadi favoritnya. Meskipun berkali-kali membaca, selalu saja air matanya menetes. Episode rumah sakit, kisah pilu dalam novel itu.
Fany dan Ryan adalah seorang suami istri yang membangun rumah tangganya dari nol. Keduanya berasal dari desa terpencil, yang pertemuannya berawal dari perayaan Agustusan di desanya. Saat itu keduanya sama-sama pulang kampung. Fany gadis lugu lulusan Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung, berambut hitam panjang yang selalu terurai sepinggang. Tubuhnya tinggi semampai. Walau kulitnya tak seputih Riyan, tapi aura kecantikannya tetap terpancar. Semua mata terkesima saat Fany tampil menjadi dirigen, termasuk Riyan. Dia anak pertama yang menyandang sarjana di desa itu. Sedangkan Riyan, baru masuk semester pertama walau usianya terpaut lima tahun dari Fany. Tetapi walaupun begitu setelah 4 bulan berpacaran, mereka berdua memutuskan untuk menikah cepat.
Buah perkawinan mereka telah dianugerahi dua anak cantik, yang tengah berusia remaja. Postur tubuh keduanya, tidak jauh dengan wajah ibunya saat gadis dulu. Yang satu telah masuk perguruan tinggi, calon sarjana hukum, dan satu lagi masih duduk di SMA. Jarang sekali ada waktu untuk liburan bersama. Apalagi Riyan, setelah sukses menjadi dosen di luar kota, ia jarang pulang ke rumah. Satu hari dalam semingu, terkadang satu kali dalam dua minggu. Keakraban anak dan bapak menjadi jauh. Demikian pula Fany, bertemu dengan anak-anak hanya malam hari. Karena ia tugas mengajar di luar kota. Sebagai pengganti suaminya yang antar jemput Fany ke sekolah, ia memberi supir pribadi. Mereka tinggal bersama anak dan istrinya. Rumah Fany menjadi ramai.
Sore itu, saat Fany dan kedua anaknya baru pulang liburan ponselnya berbunyi. Dengan senang hati Fany berlari menuju ponsel yang masih ada dalam tas. Betapa senangnya, ketika dilihatnya panggilan dari Riyan, suaminya.
“Bu, ada Askes?” tanya Riyan dengan nada lemah dan parau, disusul dengan batuk yang beruntun. Fany kaget setengah mati mendengar suara suaminya.
“Papah, sakit? Papah mau ke rumah sakit?” tanya Fany gugup.
“Ada tidak?” tanyanya lagi makin serak suaranya.
“Askes? Dulu dipegang papah. Tidak ada di sini,” tegas Fany.
“Cari lagi,” Riyan memaksa.
Fany penasaran, dicari-carinya Askes itu. Dilaci lemari tidak ada. Dalam tas dan dompet tidak ada. Di laci meja pun tidak ada. Demikian pula di laci mobil tidak ada. Setelah yakin tidak ada, Fany menghubungi suaminya. Diceritakannya bahwa Askes itu tidak ada. Karena masih penasaran, Fany pun menelepon sopirnya. Mang Dirman namanya. Sehari-harinya Mang Dirman selalu bersama Fany, namun saat itu kebetulan diajak Riyan sambil pulang kampung katanya.
Fany sudah kesal, hendak dibawa ke rumah sakit mana suaminya. Namun mang Dirman pun tidak memberi jawaban yang pasti. Entah berapa puluh panggilan, Fany terus memutar-mutar panggilan, hingga akhirnya ia mengangkat.
“Kenapa telepon tidak diangkat? Mau dibawa ke mana Bapa? Rumah sakit mana?” tanya Fani kesal.
“Kopo, Bu!” bisik sopirnya.
“Ibu ke sana sekarang!”
“Jangan dulu, Bu. Izin bapak dulu,” bisik supir itu lagi. Fany semakin heran, kenapa harus izin dulu bapak. Bukankah bapak sakit. Kenapa seakan dirinya tidak boleh menjenguk? Hati mulai tidak enak ada apa sebenarnya dengan suaminya itu.
“Emang ada apa …,” belum aja selesai bicara, terdengar ada suara Riyan marah. Telepon putus.
“Sandiwara apa ini yang sedang dimainkan, sakit saja harus main rahasiah. Sakit itu dekat dengan kematian, emang mati bisa sembunyi-sembunyi gituh. Orang lain sakit, pulang kerumah minta diurus istri. Ini ditengok aja tidak boleh,” Fany terus menggerutu di depan anak-anaknya. Tidak terasa air matanya jatuh. Sadar di depannya ada anak-anak, ia langsung berbalik dan pergi ke kamar membanting tubuhnya ke tempat tidur.
“Lia!” seru Tari kepada adiknya.
Lia mengerti apa yang diinginkan kakaknya. Ragu-ragu ia untuk memasuki kamar ibunya. Beberapa saat berhenti di pintu kamar, sambil berpikir apa yang seharusnya dikatakan kepada ibunya. Perasaan ibu itu sangat halus, karenanya ia harus berhati-hati dalam berbicara. Pasti hati ibu sedang terluka oleh bapaknya. Memang, anak-anak itu sering ngomel juga soal bapaknya yang jarang pulang. Bahkan terkadang ia meragukan kasih sayang bapaknya.
“Bu, sabar yah! Ade mau pergi ke rumah sakit sekarang, berdua sama kakak. Ibu tunggu dulu di rumah. Biar mencari tahu kenapa sikap mereka begitu. Ibu tenang saja, yah. Percayakan semuanya pasti baik-baik saja,” ucap Lia merayu ibunya.
Fany mengerti apa yang dikatakan anak bungsunya. Ia tidak ingin anaknya ikut terluka melihat keadaan dirinya. Walau ragu, terpaksa harus setuju. Mungkin inilah jalan terbaik yang Alloh kasih. Biarlah mereka sudah pada dewasa, kali ini mereka harus diberi kepercayaan untuk pergi menjenguk bapaknya.
“Hati-hati di jalan. Sampai di sana, jaga mulut dan jaga hatimu,” ucap ibunya dengan senyum yang dipaksakan. Dielusnya bahu anak bungsunya itu.
“Siap! Simpan air mata ibu, untuk nanti saat ibu menyaksikan kakak wisuda. Pasti ibu menangis bahagia,” bujuk Lia kepada ibu kesayangannya. Padahal jika tahu hati Lia pun sama gondoknya dengan hati ibunya.
Sepeninggal Lia dan Tari, Fani tidak bangun dari tempat tidurnya. Kemarahannya sangat besar, namun tidak bisa diungkapkan. Alasan apa ia tidak mau mengangkat telepon. Ada rasa heran. Apa memang suaminya tidak ingin merepotkan dirinya, atau memang ada sesuatu dengan dirinya. Tapi apa? Mungkinkah ada wanita lain yang disembunyikan, hingga ia tidak mau dijenguk. Apa ini tanda tanya yang berpuluh tahun kebelakang dibalik suaminya betah di luar kota? Andai saja iya, betapa hianatnya. Selagi sengsara makan pagi, sore tidak. Ke mana pun selalu hidup bersama. Sedangkan setelah sukses berhianat.
“Astagfirulloh, ya Alloh. Maafkan hamba yang telah suuzon kepada suami sendiri. Semoga suamiku baik-baik saja,” sadar dirinya bersalah, Fany tanpa menunda waktu berwudu. Kemudian shalat ashar, sambung berdzikir. Pembantu dan anak-anaknya pun mendengar suara dari dalam kamar, sepertinya Fany, majikannya dzikir sambil menangis.
Pukul delapan malam, Lia dan Tari baru pulang. Tanpa membuka jaket, mereka menghampiri ibunya. Lia duduk di ujung sejadah. Sementara Tari duduk di sisi ranjang. Sejenak mereka hanya bertatapan, tanpa berkata-kata. Semakin menambah kecurigaan ibunya. Ada apa sebenarnya dengan mereka.
“Bagaimana bapakmu?” tanya Fani lembut.
“Bapak sakit, Bu,” jawab Lia sambil menatap kakaknya. Seakan bertanya apa yang mesti dijelaskan kepada ibunya.
“Besok ibu boleh ke sana. Tapi jangan sekarang. Tadi hanya melihat ayah dari jauh saja, katanya tidak boleh ditemui dulu. Ibu sabar, yah! Ayah baik-baik saja, ko,” bujuk Tari kepada ibunya.
“Sekarang, tidur yuu! Biar besok badan kita sehat. Ke rumah sakit harus sehat. Jangan banyak pikiran. Apa ibu mau ditemenin tidurnya?” tanya Lia.
Malam semakin larut, suasana di rumah semakin sepi. Lia telah mematikan semua lampu, kecuali lampu luar. Hanya sinar dari luar remang-remang masuk melalui kaca jendela. Malam itu semua tertidur pulas, hanya Fany yang masih terjaga. Jemarinya masih berlari diantara butiran tasbih. Makin lama semakin lambat gerakannya. Dan terkulai jatuh diatas selimut tebal yang membungkusnya.
Esoknya, pukul sembilan, Fany sudah tiba di parkiran belakang rumah sakit swsta kota Bandung. Di bawah rerimbunan pohon, telah berderet aneka merek mobil memadati tempat itu. Fani menunggu panggilan dari dalam, karena Lia pun belum mengetahui bapaknya dirawat di ruang mana. Mang Dirman, berjanji akan menjemputnya pukul sembilan. Semua mata menatap ke jalan yang lurus melalui pintu IGD. Karena tadi malam Lia melihat bapaknya berada di tempat itu. Walaupun ia tidak bertemu langsung, setidaknya ia pernah melihat walau dari jauh.
“Bu?” dari arah belakang mobil ada yang memanggil. Suaranya sangat akrab di telinga. Lalu semua menolehnya.
“Ngagetin aja. Di mana bapa?” tanya Fany.
“Ayo, kita masuk! Dari tadi nunggu di bangku sana. Udah ngobrol lama sambil merokok. Di kamar tau sendiri dilarang merokok.
Mereka masuk melalui lobi depan. Tiba depan lift, menunggu agak lama. Mungkin di atas banyak yang keluar masuk. Untungnya yang sebelah lagi terbuka, langsung serbu saja. Mang Dirman menekan tombol 11, rupanya Riyan ada di lantai 11.
Ruang VIP 11.03 tertulis di depan pintu. Mang Dirman membuka pintu itu. Kamar itu luas. Ada satu sofa lengkap dengan meja dan bantal kursi. Televisi yang besarnya dua kali TV 21 inch. Ada pula lemari es untuk menyimpan persediaan makanan, satu lagi lemari pakaian tiga pintu. Kalau dipikur apakah ini rumah sakit atau kamar hotel? Yang menjadi pertanyaan kenapa di atas lemari ada tas perempuan, emang itu tas siapa?
Udah lah tidak mau berandai-andai masalah tas. Toh tujuan datang ke sini mau nungguin yang sakit. Dihampirinya pasien yang terkujur lemas di atas tempat tidur. Tangan terikat impusan, hidung pun tersambung dengan oksigen. Melihat begini marah dan kesel yang kemarin menjadi hilang, berubah menjadi kasihan. Ingin rasanya bertanya, kenapa jadi begini, tapi tidak tega juga.
“Apa yang papah rasa?” tanya Fany kepada suaminya.
“Ini!” jawab Riyan menunjuk kepala.
Riyan terus meraung-raung kesakitan. Minta dipijitin kepala. Minta diuelus-elus perut karena lambungnya sakit. Minta dipijitin kaki. Dua jam berdiri ngurusin di situ, nyaris tidak bisa berhenti. Walau demikian, keikhlasan Fany mengurusi suaminya sangat tulus. Terkadang dibentak jika tidak sesuai yang dia mau. Fany seakan tidak ada benarnya melakukan apa pun. Tak sedikit pun terdengar Fany mengeluh, walau pun dimarahi.
Riyan tengadah melihat jam dinding yang menggantung di atas televisi. Waktu telah menunjukkan pukul 13.00. Anehnya Riyan seperti gerah dan gelisah. Ia menyuruh Fany segera pulang. Alasan bakal banyak tamu yang berkunjung. Menurut logika, jika ada tamu berkunjung kenapa istri disuruh pulang, justru ada tamu itu diterima oleh istri. Ini malah semakin keras menyuruh pulang. Fany dengan sabar membujuk agar ia tetap di situ. Ia ingin mengurusinya sampai sembuh. Tapi tidak boleh. Riyan tetap menyuruh pulang. Dalihnya biarin ada suster yang lebih tau mengurusinya. Tidak bisa bagaimana, jika suami tidak berkenan akhirnya Fany diantar mang Dirman turun dari lantai 11.
Semakin besar tanda tanya bagi Fany. Ada apa sebenarnya dengan suaminya. Tadi ada tas perempuan di atas lemari. Tiba-tiba melihat jam dan langsung mengusirnya. Seperti ini sudah terpola, tapi ada apa? Belum habis tanda tanya di hati Fany, Tari sangat mengerti dan harus menghibur ibunya.
“Ibu, kesel sama bapak? Sama Bu, Tari juga. Tapi sabar dulu kita jangan pulang tapi tinggal saja di bawah. Atau ibu diantar pulang, nanti aku sama kakak balik lagi ke sini. Gitu aja yah buu. Takut ibu sakit kalau teterusan di parkiran,” bujuk Tari berbisik di kuping ibunya.
“Iya, ibu pulang saja,” jawab Fany pasrah.
Selesai mengantar ibunya pulang, Lia dan Tari tidak mengenal lelah. Ia kembali ke rumah sakit. Ia ingin membuka misteri yang terasa janggal di hatinya. Mang Dirman suatu saat bakal buka mulut kalau dirinya mampu membuka pintu rahasiahnya. Diperjalanan ia mampir ke supermarket untuk membeli buah-buahan untuk bapaknya. Ia tahu kalau bapaknya sakit suka makan buah pir atau melon.
Habis salat ashar, Tanpa memberi tahu terlebih dahulu, Tari dan Lia langsung masuk ke kamar bapaknya. Betapa terkejut hati kedua anak itu. Ada seorang perempuan dengan anak kecil sedang duduk akrab sekali sambil mijitin kepala bapaknya. Tanpa ada rasa canggung, seperti layaknya suami istri. Melihat Tari datang, mereka seperti terkejut. Menarik tangan dari kepala bapaknya. Diam-diam tari meletakkan buah yang dibawanya di atas meja. Lalu berbalik kepada perempuan itu.
“Tanteu siapa yah?” tanya Tari pura-pura ramah. Padahal hatinya ingin memarahinya. Berani-beraninya ngelonin bapaknya.
“Kamu siapa?” perempuan itu balik nanya.
“Aku …,” Tari masih mangap, bapaknya tiba-tiba memotong.
“Mereka Lia sama Tari. Aku pesen buah,” jawab Riyan memotong jawaban Tari.
Tari mangap, Lia Tarik nafas. Kenapa bapaknya seperti ketakutan dengan jawaban mereka. Sebentar lagi misteri akan terbuka, bisik hati mereka. Suasana dalam ruangan sudah tidak kondusif. Apa yang mesti dilakukan untuk selanjutnya. Lia memberi tanda kepada Tari dengan kedipan. Tari juga cerdas, ia tahu apa yang seharusnya segera dilakukan. Dikodoknya sebuah coklat bekal dirinya dari saku kemeja.
“Ade, siapa namanya? Cantik sekali! Ini kakak punya coklat, ade mau?” Tanya Lia sambil mengulurkan coklat kepada anak berumur 5 tahun itu. Dengan malu-malu anak itu mengambil coklat.
“Nama ade siapa?” tanya Tari lagi penasaran.
“Yu main sama kakak,” ajak Lia sambil mengeluarkan satu coklat lagi. Anak itu tidak menolak ajakan Lia, walaupun ibunya sempat mencegahnya.
“Ade ke sini sama siapa?” tanya Tari merayu.
“Papah,” jawab anak itu. Tari tercengang sambil melitik kepada Lia.
“Papah? Di mana papahnya, sayang?” tanya tari semakin penasaran. Dilihat-lihat bener asa ada kemiripan raut muka anak itu dengan bapaknya.
“Papah, kan sakit,” begitu polos jawaban anak itu.
“Oooooh! Mmmh,” ucap Tari jadi tiba-tiba geram melihat anak itu.
“Balikin anak itu ke dalem, De!” suruh Tari kepada adiknya, Lia. Anak itu memandang wajah Tari yang tiba-tiba jutek. Wajahnya memerah seperti mau menangis.
Mang Dirman tergopoh-gopoh datang. Rupanya dia tidak tau kalau tadi Lia dan Tari masuk ruangan. Andai dia tahu mungkin berusaha mencegahnya. Sayang misteri semua sudah terjawab. Anak itu berlari sendirian menuju kamar bapaknya, diliatin mereka bertiga. Mang Dirman kini menjadi sasaran empuk mereka berdua. Terlihat Mang Dirman kebingungan. Tapi bukan juga Mang Dirman jika tidak mampu menguasai suasana.
“Mang Dirman sekongkol dengan bapak. Mang Dirman telah berhianat kepada kita. Tega bener, mang Dirman!” Tari menumpahkan kemarahan kepada supirnya itu. Mang Dirman hanya tertawa bingung. Mau mengingkari tidak mungkin, berbohong lagi sudah tidak mungkin. Terpaksa harus terus terang karena terlanjur terbongkar.
“Pantesan tadi siang bapak ngusir kami dari sini, agar cepat pulang. Kasihan ibu, dibentak-bentak dan diusir. Rupanya sudah direncanakan, perempuan itu disuruh keluar karena ibu akan datang. Dan ibu datang di usir lagi. Bagai mana perasaan ibu kalau tahu hal ini? Tadi juga ibu menangis di jalan karena diusir-usir ayah. Saya yakin, ibu sudah merasakan perselingkuhan bapak. Benar itu istri muda bapak, Mang?” Tari merajuk.
“Hampura! Mamang tidak bisa bagaimana. Mamang cuman supir, tidak bisa mencegah bapak. Coba pikirkan, jika mamang menasihati bapak, gak berani! Yang ada mamang dipecat jadi supir. Sekarang mah tinggal sabar saja. Neng sabar, ibu juga sabar. Mau bagaimana lagi. Anak bapak dari perempuan ini juga sudah ada 3 masih kecil-kecil. Yang tadi itu anak ke dua, masih ada bayi usia 2 tahun ditinggal di rumahnya,” tutur Mang Dirman.
Lia dan Tari terkulai lemas. Mereka menghempaskan pantatnya ke lantai, duduk terkulai. Tak pernah membayangkan jika mereka mempunyai 3 adik dari perempuan lain. Yang terbayang wajah ibunya menangis histeris. Bagaimana cara menyampaikan kepada ibu berita ini. Tidak disampaikan bagaimana, tapi ini harus. Ibu harus tahu. Yakin ini akan menjadi petaka. Tapi harus bagaimana? Begini rasanya makan buah simalakama.
Gelap. Dunia menjadi gelap. Mang Dirman pun sama-sama duduk di lantai. Merasakan apa yang kedua anak itu rasakan. Semua membisu, tak satu pun ada yang buka mulut. Lorong rumah sakit itu smakin mencekam. Hati semakin geram kepada perempuan yang tega merebut bapanya. Kalau saja tadi kurang iman, ingin nendang anak itu tadi seperti bola. Tapi yang berdosa bapak dan ibunya, bukan anak itu.
Kriiing …, kriiing …., ponsel berbunyi. Mereka terbangunkan dari hayalannya. Tiga orang itu bertatapan.
“Angkat!” seru Tari.
Lia mengambil ponsel dari saku bajunya. Dilihatkannya sebuah panggilan kepada Tari dan Mang Dirman.
“Ibu. Load speaker,” ucap Tari.
“Hallo, Bu!” Lia menjawab telepon ibunya.
“Bagaimana kabar bapakmu?” tanya ibu kepada anaknya. Lia menarik nafas panjang. Apa yang mesti disampaikan kepada ibunya. Lalu ia menyerahkan telepon kepada Mang Dirman.
“Bapak baik-baik saja, Ibu. Sabar yah Bu, Tari dan Lia malam ini sepertinya pulang agak malem. Gak apa-apa, Bu?” jawab Mang Dirman menenangkan hati majikannya.
Lia mengambil ponselnya. Lalu ia matikan sebelum menunggu jawaban ibunya. Ia tak tega jika harus dengar ibunya bertanya lagi di telepon. Lalu mereka berdiri, mencari lift untuk turun menuju parkiran. Tempat yang nyaman untuk ngerumpi para sopir dan penunggu pasien. Rerimbunan pohon beringin dan pohon kersen menjadi payung dari terik matahari di siang hari. Jika malam tiba, bertaburan cahaya lampu menerangi kursi-kursi bambu tempat penunggu pasien dan supir ngerumpi sambil merokok.
“Istri bapak kemungkinan besok pulang. Anak bayinya katanya tidak bisa diam, nangis mencari ibunya. Gak tau bakal dibawa ke sini, atau bagaimana. Saran saya, besok bawa ibu ke sini pagi-pagi. Jangan tinggalkan bapa di sini, sampai bapa sembuh. Pasti perempuan tadi tidak balik lagi kalau ada ibu. Percayalah, sikap bapak seperti itu,” Mang Dirman mengatur siasat.
Tari dan Lia setuju atas saran Mang Dirman. Karena itu ia segera berpamitan pulang, karena besok pagi mereka akan datang kembali. Sesungguhnya, mereka benci atas kelakuan bapaknya. Tapi seorang anak, tidak boleh durhaka ketika bapanya sakit keras. Umur tidak ada yang tahu, bagaimana kalau esok atau lusa bapaknya pergi meninggalkan mereka. Penyesalan itu selalu datang di belakang. Mumpung bapaknya masih ada, masih ada waktu untuk berbuat baik kepada bapak kandung yang menyebabkan mereka ada. Walaupun demikian adanya, tetap saja bapaknya punya andil dalam mendidik dan membesarkannya, walaupun selama ini ibu yang selalu mengurusinya. Mengenai kasus bapaknya, mereka sepakat untuk tidak menceritakannya di rumah sakit. Akan tetapi, besok pagi bersama Mang Dirman akan membahas ini lagi bareng-bareng. Karena tidak tega dan takut ibu kenapa-kenapa.
Sepeninggal Tari dan Lia, Mang Dirman dipanggil bapak ke ruangan. Tapi mang Dirman sudah siap dengan jawaban andai majikannya marah kepadanya. Orang sakit mau marah bagaimana, jika ia tinggalkan mau diurusi siapa. Kalau Mang Dirman tega, sudah ditinggalkan dari kemarin juga. Kini sudah saatnya, mengemukakan undek-undek kepada bapak. Dari dulu bukan karena senang menyaksikan majikan berhianat kepada istri pertama yang telah menjadikannya sukses. Tapi karena kasihan kepada keluarganya. Kasihan kepada ibu, pulang dan pergi sekolah tidak ada yang mengantar. Tapi untuk yang satu ini, ia tidak bisa bertindak, kecuali diam.
“Mang Dirman, kenapa anak-anak dibiarkan masuk lagi?” tanya Riyan marah.
“Mamang yang nyuruh. Jangan menghalangi anak, karena tidak ada istilah bekas anak. Istri ada bekasnya kalau berpisah, tapi anak tetap anak. Kalau bapak melarang-larang Neng Tari sama Neng Lia ke sini, Mamang juga akan pulang mala mini,” jawab Mang Dirman tegas. Baru kali ini ia bersikap seperti itu. Karena saat ini waktu yang tepat untuk mereka tahu siapa bapaknya itu, dan bagaimana bapaknya itu. Tidak baik sembunyi-sembunyi puluhan tahun. Kasihan ibu yang selalu sabar menunggu-nunggu bapak pulang, padahal ada di rumah istri muda. Sepuluh tahun dibohongi bapak dengan perlakuan yang tidak adil.
Tidak ada yang berani mendebat. Riyan seperti pasrah. Ia sadar kalau dia kini sedang sakit. Jika Mang Dirman pergi siapa yang mengurusinya. Sementara istri kesayangannya meninggalkan bayi di rumah. Anak yang dibawa pun, tidak diperkenankan berlama-lama di rumah sakit oleh dokter.
Malam itu Mang Dirman tidak bisa memejamkan mata sedetik pun. Penyakit Bapak terlihat semakin parah. Semalaman meraung-raung menahan kepalanya kesakitan. Obat dari dokter tidak mau memakan. Setiap dokter dan suster yang datang sering menjadi sasaran kemarahan. Mang Dirman membawanya ke lab untuk CT Scan di kepalanya. Untuk memastikan ada apa di kepala Riyan. Sementara perempuan itu, hanya duduk ketakutan sambil memeluk anaknya. Entahlah dipikirannya, mungkin ia memikirkan bagaimana jika suaminya meninggal. Anak-anaknya masih kecil, bagaimana nasib dirinya. Akankah istri pertama mengusirnya, sehingga ia tidak kebagian warisan.
Pagi-pagi saat kunjungan dokter, hasil CT scan kepala baru keluar. Dokter menyatakan bahwa di kepala Riyan terjadi pengentalan darah yang menyebabkan sakit luar biasa. Dokter memberi obat pengencer darah melalui suntikan maupun pil. Belum lagi sembuh masalah kepala, kini lambungnya yang kambuh. Makanan apapun yang disodorkan tidak pernah mau makan. Perutnya kembung dan mengeras. Buang air tidak lancar. Bener-bener kondisi yang sangat menyulitkan. Sementara anaknya itu menangis ingin pulang. Suasana kamar inap itu menjadi panas. Masalah runyam, penyakit yang satu belum sembuh datang lagi penyakit baru.
“Kamu pulang!” kata Riyan kepada istri mudanya.
Mang Dirman tersenyum, lalu membuang muka. Takut kebahagiaannya terlihat. Sementara perempuan itu bersiap-siap untuk pulang ke Cianjur. Entah dia bakal datang lagi atau tidak, semoga saja tidak. Biarlah ibu Fany yang menunggu di sini.
Pagi-pagi itu di parkiran Fany dan kedua anaknya sudah tiba. Namun mereka tidak berani naik ke ruangan, sebelum dikabari Mang Dirman. Karena begitu permintaan Mang Dirman. Sangat aneh menurut Fany, mengapa menemui suami sakit saja harus melalui prosedur yang ribet. Seharusnya ia bebas mengunjungi suaminya kapan pun.
Mang Dirman mengantar istri muda Riyan dan anaknya ke parkiran. Sudah ada mahasiswa Riyan yang menjemput pulang. Sedangkan Fany dan Tari sedang duduk-duduk di kursi bambu. Ia tidak tahu sama sekali kalau laki-laki yang mengobrol dengannya adalah mahasiswa yang menjemput Lola istri muda Riyan. Ketika ia melihat Lola menuntun anaknya, mahasiswa itu menunjuk untuk memperkenalkannya. Perempuan muda berusia sekitar 30 tahun. Dulunya dia mahasiswa Riyan. Terlalu tinggi perbedaannya, terpaut 25 tahun dengan Riyan.
“Itu ibu sudah datang,” ucapnya .
Tari dan Lia terkejut, tidak menyangka bahwa orang itu menjemput istri muda bapaknya. Bagaimana mencegah agar mereka tidak bertemu. Tapi tidak mungkin menghindar karena mereka sudah dekat. Biarlah pasrah apapun yang akan terjadi terjadilah. Mungkin ini jalan yang terbaik dari Alloh. Mang Dirman pun tidak menyangka kalau Fany sudah ada di situ.
“Ibu Fany?” Lola menyapa.
Fany tersenyum bingung. Pikirnya tahu dari mana, perasaan ia tidak mengenalnya.
“Iya, Siapa yah? Maaf saya mungkin lupa,” jawab Fany ramah.
“Saya istrinya …,” ucap Lola terputus.
“Bu, Cepetan macet!” Mang Dirman sengaja memotong pembicaraan Lola. Karena tidak tega menyaksikan majikannya kecewa.
Sepeninggal Lola, Fany penasaran kepada perempuan yang dibawa Mang Dirman tadi. Apakah dia itu teman bapak, dosen atau mahasiswa juga.
“Mang Dirman! Itu istrinya siapa? Istri dosen atau mahasiswa?” Fany penasaran. Sementara Mang Dirman kebingungan harus menjawab apa.
“Bu, mungkin ini saat yang tepat untuk kita tahu segalanya. Apakah ibu siap menerima kabar terbaru walau menyakitkan?” tanya Tari ingin mendengar sikap ibunya.
“Memang ada apa? Apakah yang tadi istri muda bapakmu?” Fany mulai curiga.
“Betul, Bu, itulah sebabnya hari ini kami mengajak ibu pagi-pagi ke sini. Ibu yang sabar yah. Hak ibu mau marah atau bagaimana. Tapi ibu yang selama ini paling sabar, akan selalu berpikir positif untuk anak-anaknya,” bujuk Tari bijak dan lebih dewasa.
Fany hanya diam. Tidak sepatah kata pun menjawab. Antara percaya dan tidak. Mungkin ini sedang bermimpi. Atau mungkin ini hanya kabar burung. Dalam diamnya, Fany terus mengingat-ingat apa yang suaminya lakukan kepadanya belakangan ini. Dipindai satu persatu, kapan mulai dia jarang pulang. Sejak kapan jumlah pakaiannya selalu berkurang setiap dia pulang. Uang belanja sering tidak sesuai dengan kebutuhan. Katanya bekerja siang malam untuk keluarga. Katanya sibuk sampai jarang pulang itu mencari uang, tapi tidak pernah setor uang. Yang ada hanya mencukupi kebutuhan dirinya sendiri. Aku hidup dengan gaji sendiri.
Betapa hancurnya hati Fany. Tidak berdaya, seperti kapas tersiram air. Kaki tak lagi mampu menopang badan. Seluruh sendi serasa lumpuh, lidahpun kelu. Dunia serasa gelap hingga tak bisa lagi melihat benar dan salah. Andaikan bisa, lebih baik memilih mati daripada harus menyaksikan hidup orang lain di hati suaminya.
“Apa ibu mau pulang?” tanya Tari khawatir.
Fany hanya menggelengkan kepala pelan-pelan. Mulutnya masih enggan bicara. Tari dan Lia membangunkan ibunya, lalu membopong naik ke lantai 11 dimana Riyan di rawat. Akankah dirinya mampu menguasai hati? Sanggupkah melihat sosok suami yang beberapa saat berada dalam pelukan perempuan lain. Mampukah melihat sosok suami yang baru saja bersama perempuan lain yang telah melahirkan tiga anak darinya.
Ya Tuhan, dalam baringnya, dari ujung kaki hingga ujung kepala, tak bisa menghapus perempuan itu dari atas tubuh suamiku. Ingin rasanya merobek perutnya. Ingin mencakar wajahnya. Dikala ia mengerang kesakitan, haruskan hati merasa senang? Alloh maha adil, mungkin ini caranya memberi peringatan agar dia sadar. Tidaklah baik membalas sakit hati saat orang yang disayanginya sedang berjuang dari kematian. Alloh saja pemaaf, mengapa kita harus menghakiminya ketika dia sekarat.
Satu minggu berlalu, Fany membawa suaminya pulang dari rumah sakit. Ia berusaha tegar meladeni suami sampai benar-benar sembuh. Apa pun yang diminta suaminya selalu dipenuhinga. Tak pernah Fany menolak permintaannya, walaupun sulit untuk mendapatkannya.
Namun sayang, sore itu Riyan berpamitan untuk pergi. Padahal ia masih dalam masa penyembuhan. Mungkin hatinya sudah tak tahan ingin kembali kepada istri mudanya. Betapa sakitnya hati Fany mendengar ia berpamitan seperti biasa alasan pekerjaan. Perempuan mana yang rela melepas suaminya pergi. Lukanya masih berdarah, da terus berdarah.
“Pah, sudah tak tahankah ingin jumpa istri muda? Tak kusangka papah, tega hianati mamah. Apa salah mamah, Pah? Alasan kerja itu sudah basi, Pah!” tutur Fany sambil menangis.
Riyan hanya diam. Ia sadar di rumah sakit anak-anaknya bertemu Lola. Dia menganggap, kedua istrinya sudah bertemu di bawah. Apa yang mesti dibantah, toh anak-anaknya telah memergokinya saat sedang berdua. Tapi bukan juga Riyan kalau menyerah dengan istri. Ia tetap memilih pergi mengajak Mang Dirman. Walau dengan berat hati Mang Dirman tetap mengantar Riyan meluncur ke Cianjur.
Sejak itu, Riyan menjadi semakin jarang pulang. Bahkan semua mobilnya tidak ada yang disimpan di rumah Fany dengan alasan mau dijual.
“Din, andai aku menjaadi Fany, mungkin aku sudah meminta bercerai. Aku tidak akan bisa bertahan dengan suami macam Riyan. Perempuan mana yang bisa menerima wanita lain dalam kehidupan suami? Kamu ko bisa Din, menjalani hidup seperti Fany itu? Kamu hebat Din! Ternyata surga itu mahal, Din. Sangat mahal!” ucap Rani kepada ibu Dini.
Ibu Dini hanya menggigit bibir. Matanya basah. Sekuat apa pun, sakit itu pasti ada. Hanya saja, ia tidak ingin orang di sekitarnya mengetahui apa yang sedang dialaminya. Andai pun memberi tahu orang lain, tidak akan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Karrenanya ibu Dini selalu menutupi semua derita yang mendera dirinya.
“Sabar yah, Din. Kamu perempuan kuat, perempuan pilihan. Istri saleha insya Alloh surga untukmu!”
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
KUNCI KESUKSESAN RAFA
KUNCI KESUKSESAN RAFA Oleh: Alya Winanda Syawalina Rizki (Juara I Lomba Menulis Cerpen Rayon 5 Kabupaten Bandung) Cuaca pagi ini sangat cerah. Kulihat senyuma
NGANJANG KA BULAN
NGANJANG KA BULAN Ku Sumyati Wanci nyérélék maju ka peuting. Hawa di kamar beuki bayeungyang waé karasana ku Néng Asih m
PUISI RAMADAN
PRAKTIK ZAKAT oleh Sumyati antrian anak pria wanitasatu persatu mendekati mejadijaga tiga anak beliadepan kelas merekadi tangannya uang recehan enam lembar lima ribuan anak berkemeja
PUISI RAMADAN
BAJU LEBARAN Oleh Sumyati tradisi idul firtiyang tak terpungkiridari cacah hingga priyayiwalau lidah mengingkari, meredam hatidari rayuan mata kanan dan kirishopee, lazada dan toko pe
PUISI RAMADAN
ISYA Oleh Sumyati Rasululloh bersabda:subuh dan isya adalah salat terberat bagi para munafikpadahal telah alloh persiapkan pahalasetara pahala salat sunat sete
KUTIFAN AUTO BIOGRAFI
ANTARA TUGAS NEGARA DAN ANAK H.R. Tirmidzi Dan ketahuilah, sesungguhnya kemenangan itu beriringan dengan kesabaran. Jalan keluar beriringan dengan kesukaran
RAMADAN BERPUISI 3
PESAN AR-RAHMAN Tahukah Kalian: kenapa allah menciptakan mahluknya berpasangan? ada kemarau ada hujan ada panas ada dingin ada susah ada sena
RAMADAN BERPUISI 2
RASA, CINTA DAN DOSA Masih tentang hati dan rasa yang tak mampu berhenti mengeja angan, harapan dan kenyataan duka, lara dan kecewa hingga cemburu mengusut na
ADAKAH YANG KAU LIHAT TAK SEIMBANG Oleh : Omah Karmanah
GAPAILAH CITA-CITAMU SETINGGI LANGIT, TERBANGLAH SAMPAI KE ATAS AWAN TANPA SENGIT , TUK MENGGAPAI CITA-CITA DAN HARAPAN, TETAP SEMANGAT TUK MASA DEPAN WALAU GELOMBANG DATANG
Teks Fabel ( Moni dan Gucci)
Oleh: Dra. Omah Karmanah, M.M.Pd. Cerita fabel merupakan cerita tentang kehidupan binatang yang berperilaku menyerupai manusia. Fabel termasuk jenis cerita fiksi, bukan kisah t